Adakah Kata yang Lebih Hebat Selain: Kasih?

Oleh: Yon Maryono

Pada saat membaca karakter kasih dalam 1 Korintus 13:13, 8, "Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap... Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.", maka sudah dapat dibayangkan betapa hebatnya kata “kasih”. Mengapa begitu hebat bahkan dahsyat! Tentunya tidak hanya oleh karena sifatnya yang sabar, murah hati, tidak cemburu seperti di kidung pujian (bdk 1 Kor 13:4-7), tetapi karakter kasih mempunyai daya dobrak yang begitu dinamis, aktif dan kuat bahkan tidak dapat dihalangi oleh teknologi atau pengetahuan manusia secanggih apapun.

Ketika kita merenungkan, Allah bersemayam dalam tingkap-tingkap langit yang tidak terukur, di mana Allah dinyatakan transenden karena terpisah dan tidak dikungkung dari dan oleh alam semesta ciptaan-Nya, kenyataannya, oleh karena “kasih”, Allah selalu dirasakan hadir di tengah umat-Nya (immanen). Kekuatan kasih-Nya kepada umat ciptaan-Nya telah menembus batas keberadaan-Nya yang sulit dibayangkan. Ia melepaskan keberadaan-Nya yang kudus, yang Maha Suci, untuk hadir menyelamatkan umat-Nya. Dia menyatakan: Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus, tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk (Yesaya 57:15). Dia hadir di tengah umat-Nya dengan kecepatan melampaui apapun, sehingga tidak dapat diukur dalam jam, menit atau detik. Bahkan sebelum maksud hati seseorang diucapkan kepada-Nya, sesuatu itu telah terjadi pada dirinya.



Kasih-Nya tidak pernah terputus sepanjang dunia diciptakan, bahkan ketika manusia pertama, Adam dan Hawa melanggar hukum Allah, dan segala bangsa keturunan mereka menyangkal dan tidak pernah beryukur atas anugerah-Nya, tetapi kekuatan kasih-Nya tidak terhalangi oleh kelakuan buruk bahkan kebiadaban manusia. Dalam masa sunyi, selang waktu Kitab akhir PL - 340 SM sampai pada kelahiran Yesus Kristus yang diistilahkan dengan "THE SILENT AGES" yaitu zaman di mana Allah "berhenti berfirman", tidak berarti Allah tidak bertindak. Pada saat terjadi puncak kedegilan hati umat, kerusakan moral, kekacauan, kekerasan dan peperangan, Dia terus menolong, membimbing, mengarahkan dan memanggil umat-Nya untuk kembali kepangkuan-Nya, karena Dia berjanji: “Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yer 31:3). Kasih setia Allah digenapi dengan sempurna ketika Dia mengutus Anak-Nya yang tunggal Yesus Kristus untuk menyelamatkan umat-Nya. Yesus yang telah dihina, dinista dan menyerahkan nyawanya di kayu salib bukan sebagai korban yang tidak berdaya karena tipu daya dari iblis, melainkan karena kasih Yesus kepada Allah dan umat-Nya. Tanpa kasih Allah maka proses Penyaliban, Kematian dan kebangkitan Yesus Kristus tidak ada.

Kekuatan Kasih Allah yang begitu dahsyat telah diajarkan kepada umat-Nya melalui pertolongan Roh Kudus, Roh Pendamping yang setia. Kasih dapat menyatukan umat-Nya yang dibatasi oleh wilayah geografi, adat, sosial budaya, politik, dan agama, untuk membina relasi antar sesama. Kasih menjadi senjata untuk menembus segala perbedaan dan konflik yang belum dapat tertandingi oleh senjata, sistim atau metode ciptaan manusia, karena kasih di atas kesetiaan terhadap bangsa, mengatasi fanatisme agama, suku bangsa, budaya atau kelompok. Kasih Allah telah mengajarkan tidak membangun tembok, tetapi Kasih Allah justru membangun jembatan. Kita dapat membayangkan bagaimana kekuatan kasih akan mampu menembus segalanya, sehingga membentuk alam dan segala ciptaan Allah menjadi kesatuan dalam damai sejahtera. Oleh karena itu, ketika Yesus memerintahkan: Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu (Yoh 13:34), adalah hal yang harus dilaksanakan oleh manusia yang berakal dan berbudi. Oleh karena itu, suatu kebenaran didasarkan fakta ketika Paulus menuliskan: "Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap... Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih." (1 Korintus 13:8,13).

Ironisnya, masih terjadi dalam organisasi persekutuan dan pelayanan orang percaya, relasi pribadi antarwarga gereja yang seharusnya terjalin oleh kasih, justru banyak didasari oleh pertimbangan lain: mulai yang bersifat egois , ketidaksukaan, kenyamanan pribadi, dendam dan iri dengki, hingga yang bersifat pragmatis seperti ketakutan terhadap reaksi pihak luar dan cenderung melawan dengan kekerasan. Padahal, kekerasan tidak pernah efektif untuk menyelesaikan masalah. Tetapi kekuatan moral spiritual dalam wujud kasih justru akan menciptakan persatuan, kesehatian dan kedamaian. Orang percaya, cenderung makin kesulitan untuk menunjukkan kasih yang tulus kepada orang-orang yang paling dekat, seperti dengan pasangan hidup, anggota keluarga, tetangga, sesama warga jemaat atau rekan pelayanan. Kasih terasa makin jauh dari persekutuan orang percaya.

Oleh karena itu, orang percaya perlu belajar dan mengalami sendiri kasih Allah ini melalui persekutuan dengan Dia dalam roh dan kebenaran sebelum Tuhan dapat memakai mereka menjadi alat anugerah-Nya. Kasih adalah perintah Allah yang harus dinyatakan dalam perbuatan, bukan angan-angan semata. Kasih ini mengatur relasi kita dengan Allah, keluarga, sesama, di manapun kita berada. Demikian pula, kasih selalu hadir kepada mereka yang membutuhkan bahkan mereka yang memusuhi. Alkitab jelas berkata "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih -- Theos ein agape" (1 Yohanes 4:8). Tuhan memberkati kita semua.